Memahami Kecerdasan Manusia

Pada dasarnya setiap orang adalah cerdas secara alami karena masing-masing telah dikaruniai kemampuan dasar (potensi). Hanya saja, tidak setiap diri sanggup mendayagunakannya.

Untuk itu perlu dilakukan pemicuan, berupa latihan pengembangan kemampuan-kemampuan pendukung agar kecerdasan alami tersebut bekerja.

Baru setelah pemicuan berhasil, orang dapat mengembangkan kecerdasan itu, dan menggunakannya untuk kepentingan hidupnya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang kecerdasan manusia, coba cek lagi postingan berjudul “Menguak Keajaiban Pikiran” terlebih dahulu.

Apa kecerdasan itu?

Ada banyak definisi tentang kecerdasan, mulai dari kajian psikologis hingga kajian filosofis. Namun, pemilihan definisi tentunya harus disesuaikan dengan kegunaan dan fungsinya, sesuai konteksnya.

Pengertian kecerdasan pada hakikatnya merujuk pada kemampuan atau tingkat kemampuan seseorang dalam mendayagunakan potensi terbaiknya untuk mengatasi persoalan hidup.

Dalam konteks ini, kemampuan itu bukan sekadar kemampuan kognitif, melainkan juga kemampuan-kemampuan yang lain, seperti kemampuan sosial dan semacamnya.

Kemampuan itu diperoleh melalui proses yang disengaja, dan berfungsi sebagai kekuatan dalam mengatasi persoalan.

Bill Lucas (2006) menyebut bahwa kecerdasan melibatkan kombinasi dari “keterampilan” dan “pemahaman” dalam konteks yang beragam.

Menurutnya, jika Anda cerdas, Anda pintar menggunakan otak Anda dengan berbagai cara yang berbeda. Jika otak Anda bekerja dengan baik, Anda mampu belajar melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak Anda ketahui.

Latihan dan bukan kehendak alam yang memegang peranan penting.

Apa yang disebutkan Bill Lucas tersebut sejalan dengan yang pernah disampaikan seorang ahli psikologi terkenal dari Prancis, Jean Peaget, yang mengatakan bahwa kecerdasan adalah “apa yang Anda gunakan ketika Anda tidak tahu apa yang Anda ingin lakukan”.

Macam-macam kecerdasan

Awalnya, kecerdasan manusia yang banyak dibicarakan adalah kecerdasan intelektual (IQ, Intellectual Quotient), seperti yang digagas oleh Alfred Binet dan William Stern pada awal abad ke-20.

Kecerdasan ini berpengaruh luar biasa dalam kehidupan kita. Tes IQ sering digunakan, baik di sekolah atau di tempat kerja. Kita juga merasa bangga ketika anak-anak kita mendapatkan ranking unggul di sekolah.

Kecerdasan jenis lain adalah apa yang disebut sebagai kecerdasan emosional (EQ, Emotional Quotient), sebagaimana disampaikan oleh Daniel Goleman.

Kecerdasan jenis ini diklaim memberikan sumbangan sebesar 80% bagi keberhasilan hidup seseorang.

Menurut Goleman, IQ (kecerdasan intelektual) hanya kira-kira 20% bagi faktor-faktor penentu sukses dalam hidup, sedangkan yang 80% diisi kekuatan-kekuatan lain.

Kekuatan lain itu adalah kecerdasan emosional, yakni suatu kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.

Ada juga kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient), sebagaimana disampaikan oleh Danah Zohar.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni suatu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

“SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, dan merupakan kecerdasan tertinggi kita,” tulis Ary Ginanjar Agustian dalam sebuah bukunya.

Howard Gardner bahkan mengenalkan kecerdasan lebih banyak lagi, yang disebut dengan kecerdasan berganda (multiple intelligences).

Kecerdasan yang dikenalkan Gardner ini telah membuka para pendidik pada kemungkinan dan tantangan baru, memberikan cara-cara baru untuk memudahkan pemahaman yang mendalam dalam kegiatan pendidikan.

Kecerdasan berganda dimaksud meliputi kecerdasan spasial-visual, linguistik-verbal, interpersonal, musikal, naturalis, bodi-kinestetik, intrapersonal, dan logik-matematis, eksistensial.

Sternberg (2003) mengelompokkan kecerdasan ke dalam tiga kelompok, yang merupakan inti teorinya yang disebut “Teori Kecerdasan Tritunggal”, yaitu kecerdasan analitis, kecerdasan kreatif, dan kecerdasan praktis.

Kecerdasan analitis merupakan kemampuan untuk memenuhi tugas-tugas akademik dan pemecahan masalah, seperti yang digunakan dalam tes-tes kecerdasan tradisional.

Kecerdasan kreatif atau sintetis merupakan kemampuan untuk menangani situasi-situasi baru dan tidak lazim dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki.

Kecerdasan praktis merupakan kemampuan untuk beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari dengan cara menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

Kecerdasan jenis ini membuat seseorang mengerti apa yang perlu dilakukan dalam situasi tertentu, dan melakukannya dengan baik (wikipedia.org).
0 comments… add one

Tinggalkan Balasan

Essential SSL