Belajar, Teori dan Implementasinya dalam Pembelajaran

Belajar, sebagaimana definisi yang diterima secara umum, adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai akibat dari suatu pengalaman.

Berdasarkan definisi tersebut terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut belajar, yaitu:

  • ada perubahan perilaku,
  • perubahan perilaku itu relatif permanen, dan
  • perubahan perilaku yang relatif permanen itu diperoleh karena pengalaman.
Terdapat tiga teori belajar yang tetap populer hingga sekarang. Ketiga teori belajar tersebut adalah  classical conditioning, operant conditioning, dan social learning theory.

Dalam tulisan ini akan dibahas teori belajar classical conditioning beserta implementasinya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Classical Conditioning

Classical conditioning merupakan sebuah bentuk pengkondisian di mana seorang individu merespon rangsangan yang biasanya tidak akan menghasilkan respons tersebut.

Dalam konteks ini ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu rangsangan yang dikondisikan (conditioned stimulus) dan respons.

Gambaran mengenai teori belajar classical conditioning ini dapat dipahami dengan memperhatikan percobaan yang dilakukan Ivan Pavlov (Rusia), ketika dia mengajar anjing untuk mengeluarkan air liur sebagai respon terhadap bel yang dibunyikan.

Pavlov menggunakan daging dan bunyi bel sebagai rangsangan (stimulus) dan anjing mengeluarkan air liur asebagai respon.

Pertama, Pavlov menghadirkan sekerat daging kepada anjing, anjing itu menunjukkan peningkatan pada air liurnya.

Kedua, Pavlov membunyikan bel tanpa menunjukkan daging, anjing itu tidak mengeluarkan air liur. Kemudian Pavlov melanjutkan untuk menghubungkan daging dan bunyi bel. Daging diberikan kepada anjing setelah bel dibunyikan.

Setelah berulang-ulang mendengar bunyi bel sebelum menerima makanan, anjing tersebut mulai mengeluarkan air liur segera setelah bel berbunyi.

Setelah beberapa waktu, anjing itu akan mengeluarkan air liur hanya pada bunyi bel, bahkan ketika makanan tidak diberikan.

Pengaruhnya, anjing telah belajar untuk memberikan respon–yakni mengeluarkan air liur–terhadap bunyi bel.

Dalam percobaan tersebut, daging merupakan stimulus yang tidak dikondisikan (unconditoned stimulus); hal ini menyebabkan anjing bereaksi dengan cara khusus.

Reaksi yang terjadi karena stimulus yang tidak dikondisikan tadi disebut respon tak terkondisikan (unconditioned response). Bel merupakan stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus).

Meskipun pada awalnya tidak berpengaruh, setelah bel dipasangkan dengan daging, pada akhirnya bunyi bel itu sendiri menghasilkan respons pada anjing, walaupun tanpa kehadiran daging.

Respon anjing terhadap bunyi bel inilah yang dimaksud dengan conditioned response.

Berdasarkan konsep tersebut kita dapat menyimpulkan classical conditioning; yang secara esensial berarti bahwa mempelajari sebuah respons kondional melibatkan membuat asosiasi antara rangsangan terkondisi dan rangsangan tak terkondisi.

Ketika satu rangsangan netral dan satunya lagi berpengaruh, maka yang netral bisa menjadi berpengaruh (conditioned response).

Implementasi dalam Pembelajaran

Ketika kita menginginkan anak-anak belajar, maka kita harus memberikan rangsangan kepada mereka.

Ada dua jenis rangsangan dalam konteks ini, yaitu rangsangan yang langsung membuat siswa memberikan respon dan rangsangan yang tidak membuat siswa memberikan respon.

Kita sebut saja rangsangan yang menimbulkan respon langsung adalah nilai, dan rangsangan yang tidak menimbulkan respon adalah materi pelajaran.

Pada dasarnya setiap siswa merasa senang apabila mendapatkan nilai yang baik, tetapi mereka tidak terpengaruh oleh materi pelajaran. Materi pelajaran sendiri bersifat netral (tidak berpengaruh) pada diri siswa. Yang membuat siswa terpengaruh adalah nilai yang baik dari guru.

Oleh karena itu, agar siswa memberikan respon pada materi pelajaran (mau mempelajari materi pelajaran), maka harus diberikan rangsangan lain yaitu nilai yang baik.

Dengan kata lain, siswa diberi nilai baik setelah mempelajari materi pelajaran. dan ini harus dilakukan secara berulang-ulang.

Akhirnya harus disadari oleh kita semua bahwa agar terjadi perubahan yang relatif permanen pada diri siswa, maka kegiatan (sebagai bentuk pengalaman) harus dilakukan secara berulang-ulang.

Dari konsep ini kita tahu mengapa siswa kita tidak menunjukkan hasil belajar yang memadai setelah mengikuti ceramah kita yang hanya sekali!

Bersambung, KLIK untuk membaca …

0 comments… add one

Tinggalkan Balasan

Essential SSL